Rabu, 19 September 2012

BALIAN MAMBUR LEGENDA DAYAK

Balian Mambur; Ilmu Hantu Pemakan Mayat

Posted by Anak Sultan pada Maret 27, 2007
Kisah ini berasal dari kepercayaan orang Dayak Bukit di daerah Sampanahan, daerah di ujung tenggara pulau Kalimantan berseberangan dengan Kotabaru Pulau Laut Kalimantan Selatan. Orang tua di sana bercerita secara turun temurun mengenai kisah seorang pemuda bernama Tanghi yang berubah menjadi Balian Mambur (tabib sakti menurut kepercayaan Kaharingan).
Menurut cerita, ada seorang anak bernama Tanghi yang sejak kecil sudah ditinggal mati kedua orang tuanya. Hidupnya tidak karuan dan luntang lantung mengharap belas kasihan orang. Akhirnya di kampung itu ada seorang duda yang merasa kasihan dengan Tanghi dan mengangkatnya menjadi anak. Tanghi kemudian dewasa dengan bimbingan dan lindungan oleh orang yang sudah dianggapnya ayah ini. Dia diajari bertanam, berburu, dan berbagai keahlian hidup lainnya. Tanghi merasa sangat menyayangi dan menghormati ayah angkatnya ini. Tiba-tiba bencana kembali mendatangi hidup Tanghi, ayah angkatnya yang sangat disayangi meninggal dunia. Sebagai remaja tanggung Tanghi sangat terpukul dan tidak tentu arah memikirkan nasib hidupnya kelak. Setelah ayahnya selesai dikuburkan, Tanghi tidak mau meninggalkan kuburan ayahnya ini, dia terus menerus menangis dan meratapi kepergian ayahnya. Selama tiga hari tiga malam Tanghi menjagai kuburan ayahnya, pada malam ketiga Tanghi merasa kelelahan dan tertidur di dekat kuburan itu.
Pada saat itulah datang Bumburaya (sejenis hantu pemakan mayat), menurut kepercayaan lama, Bumburaya ini akan datang setelah orang mati dikuburkan untuk memakan mayatnya, ini sebabnya ada kepercayaan Kaharingan menunggui orang mati sampai tiga hari di kuburannya. Selama tiga hari Tanghi menangis dikuburan ayahnya itu ternyata Bumburaya tidak berani mendekat, setelah Tanghi tertidur dikira Bumburaya kuburan itu sudah tidak ada lagi yang menjaganya. Mulailah Bumburaya dengan ganasnya menggali tanah untuk mencari mayat di dalamnya, Tanghi yang tadi tertidur tiba-tiba terbangun mendengar bunyi kuburan digali. Tanghi mencari-cari asal suara itu, dilihatnya di dalam kuburan ada makhluk asing yang hanya pernah didengarnya dari cerita orang tua dulu. Di sekitar kuburan yang digali tadi terdapat Salipang (tas kecil dari rotan yang digantungkan di bahu), menurut cerita salipang ini adalah tempat Bumburaya menyimpan ilmu kesaktiannya. Dengan mengendap-endap Tanghi mendekati salipang yang ditinggal di atas liang dan segera mengambilnya, Bumburaya terkejut mencium bau manusia hidup, segera ia bangkit dengan pandangan mengerikan dan mengancam didekatinya Tanghi yang sedang memegang salipang miliknya. Tetapi Tanghi tidak merasa gentar, karena dalam kesedihannya ia tidak peduli lagi apakah hidup atau mati.
Melihat manusia yang ada dihadapannya tidak takut, Bumburaya melunak dan berusaha membujuk Tanghi untuk mengembalikan salipang miliknya. Rupanya tanpa salipang miliknya Bumburaya tidak memiliki kekuatan apa-apa kalau ingin menghadapi manusia.
bulikakan pang salipang ampun diaku” bujuk Bumburaya. (kembalikan salipang milikku)
kada handak, ikam sudah maulah idabul lawan kuburan abah diaku” tolak Tanghi (tidak mau, kamu sudah berlaku jahat terhadap kuburan ayahku)
lamun kada handak mambulikakan jua kubunuh ikam!” ancam Bumburaya (kalau tidak mau mengembalikan akan kubunuh)
bunuh ha, aku ni kadada guna hidup di dunia lagi, kadada wadah mangadu, kadada rumah wadah banaung, baik aku mati ha daripada marista mananggung darita” tantang Tanghi (bunuhlah, tidak ada gunanya lagi aku hidup di dunia, tidak ada tempat mengadu dan rumah tempat bernaung, lebih baik mati saja daripada merana menanggung derita)
ikam masih halus, mun balum masanya mati kada kawa diaku mambunuh ikam” kata Bumburaya (kamu masih kecil, kalau belum waktunya mati, aku tidak bisa membunuh kamu)
Adegan bujuk membujuk ini berlangsung lama, Tanghi tetap pada pendiriannya untuk minta bunuh, minta mati kepada Bumburaya. Sedangkan Bumburaya tidak mau membunuh Tanghi karena menurutnya belum waktunya Tanghi mati. Akhirnya Tanghi membujuk Bumburaya untuk menghidupkan kembali ayahnya, tetapi Bumburaya memberi peringatan bahwa tubuh ayahnya sudah sebagian hancur apabila dihidupkan akan menjadi bentuk yang mengerikan. Tanghi bersedia apapun bentuk ayahnya asal bisa tetap hidup bersamanya. Maka mulailah Bumburaya menghidupkan ayah Tanghi, ternyata memang benar saat ayah Tanghi bangkit, matanya dan sebagian besar tubuh sudah dimakan ulat dan mengerikan. Tanghi melihat kondisi ayahnya malah ketakutan, ia minta kepada Bumburaya untuk mengembalikan saja ayahnya dalam kubur. Bumburaya pun kembali mematikan ayah Tanghi dan mengembalikan mayatnya dalam kubur.
Setelah keinginan Tanghi dipenuhi ternyata Tanghi tetap tidak mau mengembalikan salipang milik Bumburaya. Tidak kehabisan akal Bumburaya pun membujuk Tanghi dengan kesaktian miliknya.
apa maksud ikam” tanya Tanghi (apa maksudmu)
gasan ikam kubariakan minyak nang ada di dalam salipang itu, minyaknya bahasiat banar, urang garing wan urang nang sudah mati kawa ikam tambai mun disapuakan minyak ngini” terang Bumburaya (untukmu kuberikan minyak yang ada di dalam salipang, minyaknya sangat berkhasiat, orang sakit dan orang mati bisa disembuhkan kalau diusapkan minyak ini)
“mun kaya itu, aku hakun” kata Tanghi (kalau begitu aku bersedia)
tapi ada sabuting syaratnya, ikam kada bulih jauh-jauh manambai urang, batasnya kada bulih tapamalam di wadah urang nang ikam datangi itu” kata Bumburaya lagi (tapi ada satu syaratnya, kamu tidak boleh terlalu jauh mengobati orang, batasnya tidak boleh sampai bermalam di tempat orang yang akan diobati)
“kanapa kaya itu?” tanya Tanghi (mengapa seperti itu?)
“mun ikam kawa sakahandak hati maubati urang nang garing sampai jauh-jauh, kadada lagi kena urang mati maka kadada lagi mayat gasan aku makan” Bumburaya menerangkan (kalau kamu bisa sekehendak hati mengobati orang sampai jauh, tidak ada lagi orang yang mati, maka tidak ada mayat untuk aku makan)
Tanghi pun setuju, dikembalikannya salipang milik Bumburaya, setelah itu segera Bumburaya memberikan ilmunya serta minyak untuk mengobati orang sakit bahkan orang yang sudah mati kepada Tanghi. Akhirnya Tanghi menjadi pananambaan (tabib) yang sanggup mengobati sakit apa saja dan menghidupkan kembali orang yang mati. Nama Tanghi semakin terkenal, berduyun-duyun orang menemuinya, bagi yang sakit ringan datang sendiri, yang sakit berat didatangi ke rumah tetapi Tanghi tetap memegang syarat untuk tidak terlalu jauh menambai (mengobati) orang. Karena ketenarannya itu ia mendapat gelar Balian Mambur konon cara Balian ini masih dipakai sampai sekarang.
Dalam kepercayaan Kaharingan, upacara Balian dilakukan dengan cara : mula-mula keluarga si sakit menyediakan sepotong kayu yang diukir menyerupai manusia, ada juga berbentuk Naga dan Ular terbuat dari kayu Pulantan yang ringan. Di tengah balai disediakan tempat berbentuk lingkaran yang bernama langgatan ( tempat meletakkan peralatan upacara) disini diletakkan patung sebagai lambang dewa-dewa yang dipuja. Selama melakukan balian, gendang dibunyikan dan gelang hiyang dihentakan. Gelang Hiyang terbuat dari gangsa dan jumlah yang dipakai oleh seorang Balian menunjukkan kesaktiannya. Balian tingkat tertinggi memakai 3 gelang hiyang. Langgatan dihiasi pula dengan anyaman pucuk enau, di dalamnya diletakkan bakul dengan bermacam motif dan bentuk. Motif dan bentuk bakul ini ada yang dinamakan pipit mandi, mayang merekah, naga maulit (melingkar) dan sebagainya. Isi bakul merupakan sesajian bagi dewa-dewa berupa beras, lamang, ayam, dan lain-lain sesuai keinginan Balian. Kerja Balian dalam mengobati ini disebut batutulung. Dalam upacara batutulung orang yang sakit diletakkan membujur, dan selama siang malam sang Balian batandik (menari setengah loncat) di sekeliling orang sampai akhirnya sembuh.
Beberapa tahun kemudian Tanghi sudah tua dan berkeluarga serta semakin terkenal. Rupanya dengan ketenarannya itu dan niat baik Tanghi membuatnya lupa untuk tidak mengobati orang jauh-jauh sehingga Bumburaya tidak mempunyai makanan mayat lagi di sekitar sana dan akhirnya pergi meninggalkan Tanghi. Akibatnya ada orang yang iri dan mengetahui rahasia perjanjian Tanghi dengan Bumburaya. Saat Tanghi melakukan pengobatan yang jauh, orang yang iri itu menculik anak dan istri Tanghi kemudian membunuhnya, supaya Tanghi tidak bisa lagi menghidupkan dibakarnya mayat mereka berdua dan abunya dibuang ke sungai.
Saat Tanghi pulang dia tidak menemukan anak dan istrinya, kata orang kampung mereka berdua sudah dibunuh dan dibakar tanpa ada sisa mayatnya lagi. Mendengar ini Tanghi pun kehilangan semangat hidup, pikirnya buat apa dia bisa mengobati orang tetapi keluarga sendiri tidak bisa disembuhkan. Akhirnya Tanghi bertekad tidak ingin lagi menemui manusia, dia bersumpah bila manusia ingin bantuannya harus mengadakan upacara balian delapan hari delapan malam tanpa makan dan tidur terus menerus batandik. Setelah mengucapkan sumpah itu Tanghi menghilang jasadnya mendewata dan tidak bisa lagi ditemui manusia.
Sejak saat itu di kepercayaan Kaharingan bermunculan Balian-Balian lainnya untuk melakukan pengobatan tetapi tidak ada yang sehebat Balian Mambur yang sampai bisa menghidupkan orang mati. Balian yang lain selalu berupaya memanggil Balian Mambur tetapi tidak ada yang sanggup. Menurut kepercayaan apabila ada orang Dayak bukit sakit kemudian diobati Balian tetapi tidak berhasil berarti Balian Mambur tidak sudi datang menolong mereka

Minggu, 29 Juli 2012

SAWIT DI INDONESIA

sawit
Kelapa sawit Afrika (Elaeis guineensis)
Kelapa sawit Afrika (Elaeis guineensis)
Klasifikasi ilmiah
Kerajaan: Plantae
Divisi: Magnoliophyta
Kelas: Liliopsida
Ordo: Arecales
Famili: Arecaceae
Genus: Elaeis
Jacq.
Species
Elaeis guineensis
Elaeis oleifera
Kelapa sawit (Elaeis) adalah tumbuhan industri penting penghasil minyak masak, minyak industri, maupun bahan bakar (biodiesel). Perkebunannya menghasilkan keuntungan besar sehingga banyak hutan dan perkebunan lama dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit. Indonesia adalah penghasil minyak kelapa sawit terbesar di dunia. Di Indonesia penyebarannya di daerah Aceh, pantai timur Sumatra, Jawa, dan Sulawesi.

Daftar isi

Pemerian botani

African Oil Palm (Elaeis guineensis)
Kelapa sawit berbentuk pohon. Tingginya dapat mencapai 24 meter. Akar serabut tanaman kelapa sawit mengarah ke bawah dan samping. Selain itu juga terdapat beberapa akar napas yang tumbuh mengarah ke samping atas untuk mendapatkan tambahan aerasi.
Seperti jenis palma lainnya, daunnya tersusun majemuk menyirip. Daun berwarna hijau tua dan pelepah berwarna sedikit lebih muda. Penampilannya agak mirip dengan tanaman salak, hanya saja dengan duri yang tidak terlalu keras dan tajam. Batang tanaman diselimuti bekas pelepah hingga umur 12 tahun. Setelah umur 12 tahun pelapah yang mengering akan terlepas sehingga penampilan menjadi mirip dengan kelapa.
Bunga jantan dan betina terpisah namun berada pada satu pohon (monoecious diclin) dan memiliki waktu pematangan berbeda sehingga sangat jarang terjadi penyerbukan sendiri. Bunga jantan memiliki bentuk lancip dan panjang sementara bunga betina terlihat lebih besar dan mekar.
Tanaman sawit dengan tipe cangkang pisifera bersifat female steril sehingga sangat jarang menghasilkan tandan buah dan dalam produksi benih unggul digunakan sebagai tetua jantan.
Buah sawit mempunyai warna bervariasi dari hitam, ungu, hingga merah tergantung bibit yang digunakan. Buah bergerombol dalam tandan yang muncul dari tiap pelapah. Minyak dihasilkan oleh buah. Kandungan minyak bertambah sesuai kematangan buah. Setelah melewati fase matang, kandungan asam lemak bebas (FFA, free fatty acid) akan meningkat dan buah akan rontok dengan sendirinya.
Buah terdiri dari tiga lapisan:
  • Eksoskarp, bagian kulit buah berwarna kemerahan dan licin.
  • Mesoskarp, serabut buah
  • Endoskarp, cangkang pelindung inti
Inti sawit (kernel, yang sebetul]]nya adalah biji) merupakan endosperma dan embrio dengan kandungan minyak inti berkualitas tinggi.
Kelapa sawit berkembang biak dengan cara generatif. Buah sawit matang pada kondisi tertentu embrionya akan berkecambah menghasilkan tunas (plumula) dan bakal akar (radikula).

Syarat hidup

Habitat aslinya adalah daerah semak belukar. Sawit dapat tumbuh dengan baik di daerah tropis (15° LU - 15° LS). Tanaman ini tumbuh sempurna di ketinggian 0-500 m dari permukaan laut dengan kelembaban 80-90%. Sawit membutuhkan iklim dengan curah hujan stabil, 2000-2500 mm setahun, yaitu daerah yang tidak tergenang air saat hujan dan tidak kekeringan saat kemarau. Pola curah hujan tahunan memengaruhi perilaku pembungaan dan produksi buah sawit.

Tipe kelapa sawit

Kelapa sawit yang dibudidayakan terdiri dari dua jenis: E. guineensis dan E. oleifera. Jenis pertama yang terluas dibudidayakan orang. dari kedua species kelapa sawit ini memiliki keunggulan masing-masing. E. guineensis memiliki produksi yang sangat tinggi dan E. oleifera memiliki tinggi tanaman yang rendah. banyak orang sedang menyilangkan kedua species ini untuk mendapatkan species yang tinggi produksi dan gampang dipanen. E. oleifera sekarang mulai dibudidayakan pula untuk menambah keanekaragaman sumber daya genetik.
Penangkar seringkali melihat tipe kelapa sawit berdasarkan ketebalan cangkang, yang terdiri dari
  • Dura,
  • Pisifera, dan
  • Tenera.
Dura merupakan sawit yang buahnya memiliki cangkang tebal sehingga dianggap memperpendek umur mesin pengolah namun biasanya tandan buahnya besar-besar dan kandungan minyak per tandannya berkisar 18%. Pisifera buahnya tidak memiliki cangkang, sehingga tidak memiliki inti (kernel) yang menghasilkan minyak ekonomis dan bunga betinanya steril sehingga sangat jarang menghasilkan buah. Tenera adalah persilangan antara induk Dura dan jantan Pisifera. Jenis ini dianggap bibit unggul sebab melengkapi kekurangan masing-masing induk dengan sifat cangkang buah tipis namun bunga betinanya tetap fertil. Beberapa tenera unggul memiliki persentase daging per buahnya mencapai 90% dan kandungan minyak per tandannya dapat mencapai 28%.
Untuk pembibitan massal, sekarang digunakan teknik kultur jaringan.

Hasil tanaman

Minyak sawit digunakan sebagai bahan baku minyak makan, margarin, sabun, kosmetika, industri baja, kawat, radio, kulit dan industri farmasi. Minyak sawit dapat digunakan untuk begitu beragam peruntukannya karena keunggulan sifat yang dimilikinya yaitu tahan oksidasi dengan tekanan tinggi, mampu melarutkan bahan kimia yang tidak larut oleh bahan pelarut lainnya, mempunyai daya melapis yang tinggi dan tidak menimbulkan iritasi pada tubuh dalam bidang kosmetik.[1]
Bagian yang paling populer untuk diolah dari kelapa sawit adalah buah. Bagian daging buah menghasilkan minyak kelapa sawit mentah yang diolah menjadi bahan baku minyak goreng dan berbagai jenis turunannya. Kelebihan minyak nabati dari sawit adalah harga yang murah, rendah kolesterol, dan memiliki kandungan karoten tinggi. Minyak sawit juga diolah menjadi bahan baku margarin.
Minyak inti menjadi bahan baku minyak alkohol dan industri kosmetika. Bunga dan buahnya berupa tandan, bercabang banyak. Buahnya kecil, bila masak berwarna merah kehitaman. Daging buahnya padat. Daging dan kulit buahnya mengandung minyak. Minyaknya itu digunakan sebagai bahan minyak goreng, sabun, dan lilin. Ampasnya dimanfaatkan untuk makanan ternak. Ampas yang disebut bungkil inti sawit itu digunakan sebagai salah satu bahan pembuatan makanan ayam. Tempurungnya digunakan sebagai bahan bakar dan arang.
Buah diproses dengan membuat lunak bagian daging buah dengan temperatur 90 °C. Daging yang telah melunak dipaksa untuk berpisah dengan bagian inti dan cangkang dengan pressing pada mesin silinder berlubang. Daging inti dan cangkang dipisahkan dengan pemanasan dan teknik pressing. Setelah itu dialirkan ke dalam lumpur sehingga sisa cangkang akan turun ke bagian bawah lumpur.
Sisa pengolahan buah sawit sangat potensial menjadi bahan campuran makanan ternak dan difermentasikan menjadi kompos.

Sejarah perkebunan kelapa sawit

Kelapa sawit didatangkan ke Indonesia oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1848. Beberapa bijinya ditanam di Kebun Raya Bogor, sementara sisa benihnya ditanam di tepi-tepi jalan sebagai tanaman hias di Deli, Sumatera Utara pada tahun 1870-an. Pada saat yang bersamaan meningkatlah permintaan minyak nabati akibat Revolusi Industri pertengahan abad ke-19. Dari sini kemudian muncul ide membuat perkebunan kelapa sawit berdasarkan tumbuhan seleksi dari Bogor dan Deli, maka dikenallah jenis sawit "Deli Dura".
Pada tahun 1911, kelapa sawit mulai diusahakan dan dibudidayakan secara komersial dengan perintisnya di Hindia Belanda adalah Adrien Hallet, seorang Belgia, yang lalu diikuti oleh K. Schadt. Perkebunan kelapa sawit pertama berlokasi di Pantai Timur Sumatera (Deli) dan Aceh. Luas areal perkebunan mencapai 5.123 ha. Pusat pemuliaan dan penangkaran kemudian didirikan di Marihat (terkenal sebagai AVROS), Sumatera Utara dan di Rantau Panjang, Kuala Selangor, Malaya pada 1911-1912. Di Malaya, perkebunan pertama dibuka pada tahun 1917 di Ladang Tenmaran, Kuala Selangor menggunakan benih dura Deli dari Rantau Panjang. Di Afrika Barat sendiri penanaman kelapa sawit besar-besaran baru dimulai tahun 1910.
Hingga menjelang pendudukan Jepang, Hindia Belanda merupakan pemasok utama minyak sawit dunia. Semenjak pendudukan Jepang, produksi merosot hingga tinggal seperlima dari angka tahun 1940.[2]
Usaha peningkatan pada masa Republik dilakukan dengan program Bumil (buruh-militer) yang tidak berhasil meningkatkan hasil, dan pemasok utama kemudian diambil alih Malaya (lalu Malaysia).
Baru semenjak era Orde Baru perluasan areal penanaman digalakkan, dipadukan dengan sistem PIR Perkebunan. Perluasan areal perkebunan kelapa sawit terus berlanjut akibat meningkatnya harga minyak bumi sehingga peran minyak nabati meningkat sebagai energi alternatif.
Beberapa pohon kelapa sawit yang ditanam di Kebun Botani Bogor hingga sekarang masih hidup, dengan ketinggian sekitar 12m, dan merupakan kelapa sawit tertua di Asia Tenggara yang berasal dari Afrika